From this Moment...

Daisypath Anniversary tickers

January 11, 2010

Yellow House (Part I)

Hmm..ga terlalu paham harus mulai dari mana dulu untuk cerita ttg rumah kami ini *we call it the Yellow House*, saking panjang bener perjalanannya, hehehe... But its okay, let me tell u from its beginning yah (dari mulai persiapan dan pembangunannya)
Ini dia plang IMB nyah!!
Begini....pembangunan si Yellow House ini ga lepas dari rencana besar tahun 2009 waktu itu (*rencana pernikahanku, maksudnya! hehe..pake sok rahasia segala*). Sebelum menikah kami sudah sempet membicarakan topik "dimana kami akan tinggal setelah menikah?" dan awalnya kami berencana untuk membeli rumah di salah satu perumahan di daerah Cibubur. Pertimbangannya, selain kami sudah cukup familiar dengan daerah tersebut (karena rumah kakakku juga pas di perumahan seberangnya), rumah orang tua Mas Anto juga deket dari daerah Cibubur, juga karena harga, DP dan cicilannya paling masuk akal dan bisa ditanggung oleh kami berdua (*ini dia niy alasan sebenar-benarnya!*). Selain itu, salah satu sahabatku juga sudah bertempat tinggal di situ.
Tapi entah kenapa, orang tuaku ga terlalu berkenan dengan rencana kami tersebut. Pertimbangan simpelnya ya karena lokasinya yang jauh, ga sekedar dari pusat kota (Jakarta) tapi juga pastinya dari kantor kami berdua (*Mas Anto waktu itu berkantor di Thamrin dan aku waktu itu masih berkantor di Mega Kuningan*). (dengan rada kesel juga waktu itu karena proposal tempat tinggal ditolak) kami akhirnya menyadari bahwa kalau dipikir-pikir memang bener juga alasan orang tua ku itu, paling tidak kami menemukan alasan untuk "mengurungkan" niat bertempat tinggal di daerah Cibubur, antara lain karena hal-hal ssb:
  • Ongkos bensin yang pastinya melonjak 2 kali lipat atau lebih..apalagi kalo harga minyak terus naik! *BIG-NO-NO*
  • Ongkos tol PP yang juga ga diragukan (bakal) menguras isi kantong. *again, BIG-NO-NO*
  • Ga kebayang berapa lamanya waktu yang habis di jalan (*kami yakin bahwa daerah ini pasti akan terus berkembang, pasti bakal jadi macet gila*), apalagi kalau inget jam kerjaku waktu itu sungguh-sungguh "di luar batas kemanusiaan". *Oh God, please give me some fresh air!*

So...orang tua kami dan juga kami (*akhirnya*) memilih untuk tinggal ga jauh dari rumah orang tuaku di daerah Pejaten (*ga jauh means +/- hanya 200 m lempeng aja jaraknya!!!*). But how??? Singkat cerita, orang tua kami Alhamdulillah punya sedikit rejeki yang (pastinya) bisa dibuat menyenangkan hati anaknya, hehehe...(*Mom, Dad, we Luv U..smooch*) Papaku langsung deh melancarkan hobi (lama) nya -BERBURU TANAH- (*Papaku berjiwa mandor sekali, rela keluar masuk daerah, naik turun gunung, demi mencari sebidang tanah, heheh*). Pertama menelusuri sepanjang Jagakarsa, Poltangan dan Tanjung Barat..dan hasilnya: NIHIL! (*mahal pisan*). FYI, karena udah (ke) seringan jadi mandor proyek, papaku memang lebih memilih untuk membangun rumah sendiri ketimbang membeli rumah yang sudah jadi (*alesannya macem-macem deh, dari mulai Feng-Shui, harga, kualitas bahan dan bangunan, sampe "ritual" pembangunan*).

Udah hampir hopeless kami saat itu (*boowwwkkk..status kami waktu itu adalah CALON PENGNTIN! So, please...dont give us an extra homework to do!! Enough w/ all tini-mini-diti-mariage-stuffs...pusiiinggg!*). Tapi namanya rejeki memang selalu menghampiri (kalau dijemput)....sekitar 200 m dari rumah ada tanah kosong yang ada spanduk "ERA" yang kasih informasi kalau tanah itu dijual. Tanah ini terletak di pinggir jalan, di hook pula...(so agak lebar krn punya kelebihan tanah). Tanah ini adalah salah satu kavling dari beberapa kavling yang rencananya mau dibuat cluster (*cluster gagal ceritanya*). Dari 4 kavling, 2 kavling sudah dibangun rumah minimalis, dan 2 masih kosong (tapi yang satu lagi letaknya agak ke dalam dan jalan masuknya agak curam, so itu ga masuk itungan, heheh). Karena letaknya di pinggir jalan, dan sudah rencana untuk dibangun cluster, makanya di bagian pinggir (yang deket jalan) udah dibangun dinding pembatas dan pos satpam! (*yang akhirnya kami robohkan, karna kami ga mau dikasih kewajiban ronda buat rumah-rumah yang lain gara-gara ada bangunan pos satpam, hehehe*)

Singkat kata, singkat cerita...dibelilah tanah ini oleh orang tua kami. Selanjutnya??? dimulailah keribetan untuk persiapan pembangunan rumah. Arsiteknya adalah saudara kami sendiri (Pak De ku), karena Beliau yang sudah biasa bekerja sama dengan papaku untuk mengerjakan "proyek" yang lain. Dari segi model kami menginginkan rumah yang simpel dan minimalis..tapi sekali lagi papaku -yang udah lumayan sering nge-bangunin rumah (orang)- ga setuju, karena kalau dibuat minimalis biasanya tidak ramah lingkungan: harus pakai AC di dalam ruangan, pencahayaan dan sirkulasi udara kurang bagus, ketahanan & kekokohan bangunan agak rawan (*hadoow, alasan macam apa pula ini? Kami tak mengerti..*). Tapi ya sudahlah...apa boleh buat...namanya juga cuman modal dengkul doang, masih "minjem" duit orang tua...WAJIB pasrah alias nurut...(*sambil ngangguk-ngangguk*).

Hmmm...biar ga di cap sebagai anak tak tau diri atau calon mantu tak bertanggung jawab, kami sepakat untuk bisa membantu sebisa mungkin untuk membangun rumah kami itu. Yaa, meskipun pastinya tak berarti banyak, tapi paling ga orang tua kami bisa yakin bahwa kami "bertanggung jawab" atas rumah kami:-) Bantuan macam apa pula?? Yaaaa mulai dari turun tangan sendiri untuk memilih material (bahan) bangunan, mendiskusikan soal desain (tata letak rumah) sampe urun sumbang untuk membeli bahan-bahan bangunan (yang bisa kami jangkau), and guess what??? kami (*yang masih miskin ini*) hanya bisa membeli bahan bangunan termurah saat itu....BATU BATA (Rp 45 perak per biji), keramik kamar mandi (bervariasi tapi masih bisa kebeli lah..) dan cat tembok (Rp 170 ribu per galon gede buat cat tembok warna putih BW).

Wkwkwkwkw...heran kan, sampe aku hapal tuh harga material...ya iyalahhh tiap minggu aku "shopping" ke PIM (*eh salah..ke toko bangunan, maksudnya*). Mulai dari toko Bangunan Jaya di Percetakan Negara, Mitra 10, Depo Bangunan sampe Rumah Kita! Bayangkan ya sodara-sodara...tanah ini dibeli tepatnya 8 bulan sebelum kami menikah, dan mulai dibangun 7 bulan sebelum kami menikah.....jadi oh jadi, di tengah-tengah kehebohan kami mempersiapkan pernak-pernik pernikahan, kami juga heboh pontang panting ngurusin pembangunan rumah ini. Oohh no....aku (yang bride to be ini) lebih sering bergaul dengan pasir, semen dan batu bata ketimbang sama lulur atau cream rambut!

Teorinya begini:

  1. Urusan pernikahan, PIC nya: DUO MAIA (aku dan mamaku), dikerjain setiap hari Sabtu (*cos kebanyakan vendor libur di hari Minggu*)
  2. Urusan rumah, PIC nya: TRIO MACAN (aku, mas Anto, dan papaku), kejar setorannya setiap hari Minggu (*kebanyakan toko bangunan tetep buka kok di hari Minggu*)

Huuwaaa...kalo ngebayangin rempongnya ampun deh...cukup sekali aja berada di situasi kaya gitu. CAPEK (but HAPPY).

Dan, dimulailah pembangunan si Yellow House....hari demi hari...bulan demi bulan..., lengkap dengan segala intrik (*jiaaaa...bahasanya lebay!*), pake berantem (sama papaku dan Pak De ku juga), pake bolak-balik nukerin bahan, pake acara inspeksi mendadak ke TKP (buat melototin tukang kerja), pake kucel dan kumel (banyak debu), dll.

Akhirnya setelah kurang lebih 7 bulan, rumah kami pun selesai di bangun (keadaan masih kosong melompong). Ow yah, belum resmi dinamain Yellow House karena memang belum dicat final lho ya.... (*itu nanti di cerita berikutnya*).

No comments:

Post a Comment